Senin, 03 Agustus 2015

Minat Khusus - Sesajen Bali 2012



MAKALAH
PERANAN CANANG SARI DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT HINDU DI BALI

Diajukan untuk Memenuhi Salah
Satu Syarat PLP di STBA YAPARI-ABA Bandung

Oleh
Zamzam Ganjar Hidayat (2009.114.037)
Idham Septiansyah (2009.111.047)
Hengky Purbaya (2009.111.046)
Husnul Khatimah (2009.114.051)

logo stba_asli.jpg

SEKOLAH TINGGI BAHASA ASING
YAPARI-ABA BANDUNG
2012

 


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah tentang Peranan Sesajen di Bali. Penulisan makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas presentasi minat khusus dalam pelaksanaan Praktik Lapangan Pariwisata (PLP).
Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, kiranya sulit bagi penulis untuk dapat menyelesaikan laporan ini. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada :
  1. Allah SWT  atas rahmat dan hidayah-Nya yang telah memberikan kelancaran pada PLP ini,
  2. Orang Tua tercinta dan keluarga yang telah memberikan doa dan dukungannya,
  3. Drs. H. Mundari Muhada, Dipl, TEFL selaku Ketua STBA YAPARI-ABA dan Penanggung Jawab kegiatan PLP,
  4. Dr. H. Hobir Abdullah, M.Pd selaku Pembantu Ketua 1 dan Ketua Pelaksana kegiatan PLP 2012,
  5. Drs. H.Ade Yusuf. M.Pd selaku Ketua LP3M.,
  6. Panitia penyelenggara PLP yang telah menyiapkan segalanya,
  7. Teman-teman seperjuangan peserta PLP Bali 2012,
  8. Semua pihak yang terlibat dan ikut membantu kelancaran dan kelangsungan PLP Bali 2012 yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Semoga semua kebaikan yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan dari Allah SWT. Penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya. Amin. Terimakasih.
Bandung,   Juni 2012
 Tim Penulis


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………………….………………….………………………i
DAFTAR ISI ……………………………………………….……………………..iii
            E. Manfaat Finansial Canang Sari………………………………………...10
           A. Kesimpulan. 15
DAFTAR PUSTAKA 17
LAMPIRAN……………………………………………………………………....19



 

BAB I

PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang Masalah

Praktik Lapangan Pariwisata (PLP) adalah program wajib yang harus diikuti oleh segenap mahasiswa semester VI STBA YAPARI-ABA Bandung dari semua jurusan. Setelah pelaksanaan PLP, mahasiswa dibagi ke dalam beberapa kelompok untuk mempresentasikan minat khusus yang diperoleh pada saat kegiatan PLP berlangsung.
            Minat Khusus merupakan salah satu rangakaian dari kegiatan PLP di Bali yang dilaksanakan pada tanggal 23 – 30 April 2012. Minat Khusus merupakan sarana bagi mahasiswa untuk mengembangkan minat dan ketertarikan mahasiswa terhadap kepariwisataan. Dengan demikian, kegiatan presentasi minat khusus ini dapat menjadi pembelajaran bagi mahasiswa dan menambah pengetahuan serta aspek-aspek penting dalam bidang pariwisata.
            Dengan diadakannya kegiatan presentasi yang dilaksanakan setelah kegiatan PLP,  diharapkan mahasiswa dapat bertukar informasi dan pengetahuan serta mengetahui potensi yang dapat dikembangkan dalam bidang kepariwisataan. Oleh karena itu, kegiatan presentasi ini harus diikuti oleh seluruh mahasiswa yang telah mengikuti kegiatan PLP di Bali.
            Bali merupakan pulau yang kental dengan suasana agama dan keunikan budayanya. Karena mayoritas penduduk Bali beragama Hindu, tak heran jika kebudayaan Bali selalu dipengaruhi oleh unsur keagamaan. Unsur keagamaan Bali tak lepas dari sarana ibadah atau sarana berdoa kepada dewa-dewi. Sesajen merupakan sarana ibadah bagi umat Hindu di Bali. Sesajen dipersembahkan pada saat upacara keagamaan maupun sarana beribadah untuk sehari-hari. Menurut komponennya, sesajen memiliki beberapa jenis. Jenis sesajen yang paling sederhana dan merupakan inti dari sesajen adalah Canang Sari. Oleh karena itu, tim penulis tertarik untuk membahas peranan Canang Sari dalam kehidupan masyarakat Hindu di Bali.

B.     Tujuan

Pemakaian Canang Sari sebagai sesajen oleh umat Hindu Bali, sepertinya telah menyatu dalam kehidupan masyarakat Bali. Adapun tujuan pemilihan masalah ini adalah sebagai berikut.
1.      Mengetahui peranan penting Canang Sari bagi masyarakat Hindu Bali
2.      Mengetahui komponen-komponen penting Canang Sari
3.      Mempelajari makna dari komponen-komponen penting Canang Sari
4.      Mengetahui manfaat yang didapat dari penggunaan Canang Sari dalam bidang keuangan?






BAB II

PERANAN CANANG SARI

DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT HINDU DI BALI


A.    Pendahuluan

            Budaya masyarakat Bali yang tidak terlepas dari agama Hindu yang dianut oleh mayoritas masyarakat Bali. Terdapat beberapa komponen penting dalam konsep agama Hindu untuk mempersiapkan ibadah antara lain air, api, bunga, buah dan daun. Dalam budaya Bali, konsep ini kemudian dipraktikkan dalam wujud seni yang mencerminkan semua unsur tersebut. Salah satunya adalah keanekaragaman bentuk sesajen.
Apabila kita berjalan di setiap jalan di daerah Kuta atau bahkan di mana saja di Bali, kita akan melihat di trotoar kecil persegi tenunan nampan daun kelapa dengan hiasan bunga dan hal-hal lain. Ini merupakan persembahan kepada para dewa yang dikenal sebagai  Canang Sari. Canang Sari merupakan salah satu bentuk sesajen yang  paling sederhana. Walaupun begitu, Canang Sari dapat dikatakan sebagai sarana sembahyang umat Hindu di Bali.

B.     Rumusan Masalah
Adapun masalah-masalah yang dapat dirumuskan oleh tim penulis, adalah sebagai berikut:
  1. Apa yang dimaksud dengan Canang Sari?
  2. Apa makna dari komponen-komponen yang terdapat pada Canang Sari?
  3. Apa peranan dari penggunaan Canang Sari dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Hindu di Bali?
  4. Manfaat apa yang didapat dari penggunaan Canang Sari dalam bidang keuangan?

C.    Lambang dari Komponen dan Aturan-aturan Peletakkan Komponen Canang Sari

            Sebuah komponen Canang Sari memiliki makna yang sangat berarti. Isi atau komponen Canang Sari mengikuti aturan-aturan yang terdapat dalam lontar. Jadi, Canang Sari tidak diambil dari kitab Weda, namun isi kitab Weda yang kemudian diterjemahkan ke dalam lontar yang ditulis oleh para leluhur di Bali. Komponen-komponen penting yang terdapat pada Canang Sari adalah ceper, beras, porosan, tebu dan pisang, sampian uras, bunga, kembang rampai, lepa dan minyak wangi.

1.      Ceper

Ceper adalah sebagai alas dari sebuah canang, yang memiliki bentuk segi empat. Ceper adalah sebagai lambang angga-sarira (badan), empat sisi dari pada ceper sebagai lambang dari Panca Maha Bhuta, Panca Tan Mantra, Panca Buddhindriya, Panca Karmendriya. Keempat itulah yang membentuk terjadinya angga-sarira (badan wadag) ini.

2.      Beras

Beras atau wija sebagai lambang Sang Hyang Ātma, yang menjadikan badan ini bisa hidup, Beras/wija sebagai lambang benih, dalam setiap insan/kehidupan diawali oleh benih yang bersumber dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang berwujud Atma. Ceper sebagai lambang angga-sarira atau badan tiadalah gunanya tanpa kehadiran Sang Hyang Attma. Bagaikan benda mati, yang hanya menunggu kehancurannya. Oleh karena itulah di atas sebuah ceper juga diisi dengan beras, sebagai lambang Sang Hyang Atma.

3.      Porosan

Sebuah Porosan terbuat dari daun sirih, kapur/pamor, dan jambe atau gambir sebagai lambang Tri Premana: Bayu, Sabda, dan Idep (pikiran, perkataan, dan perbuatan). Daun sirih sebagai lambang warna hitam sebagai lambing Bhatara Visnu (Dewa Wisnu), dalam bentuk Tri Premana sebagai lambang dari Sabda (perkataan), Jambe atau Gambir sebagai lambang Bhatara Brahma (Dewa Brahma), dalam bentuk Tri Premana sebagai lambang Bayu (perbuatan), Kapur/Pamor sebagai lambang Bhatara Iswara (Dewa Siwa), dalam bentuk Tri Premana sebagai lambang Idep (pikiran). Suatu kehidupan tanpa dibarengi dengan Tri Premana dan Tri Kaya, suatu kehidupan tiadalah artinya, hidup ini akan pasif, karena dari adanya Tri Premana dan Tri Kaya itulah kita bisa memiliki suatu aktivitas, tanpa kita memiliki suatu aktivitas kita tidak akan dapat menghadapi badan ini. Suatu aktivitas akan terwujud karena adanya Tri-Premana ataupun Tri-kaya.

4.      Tebu dan Pisang

Di atas sebuah ceper telah diisi dengan beras, porosan, dan juga diisi dengan seiris tebu dan seiris pisang. Tebu atapun pisang memiliki makna sebagai lambang Amertha. Setelah kita memiliki badan dan jiwa yang menghidupi badan kita, dan Tri Premana yang membuat kita dapat memiliki aktivitas, dengan memiliki suatu aktivitaslah kita dapat mewujudkan Amertha untuk menghidupi badan dan jiwa ini. Tebu dan pisang adalah sebagai lambang Amertha yang diciptakan oleh kekuatan Tri Premana dan dalam wujud Tri Kaya.

5.      Sampian Uras

Sampian Uras dibuat dari rangkaian janur yang ditata berbentuk bundar yang biasanya terdiri dari delapan ruas atau helai, yang melambangkan roda kehidupan dengan Astaa Iswaryanya atau delapan karakteristik yang menyertai setiap kehidupan umat manusia, yaitu Dahram (kebijaksanaan), Sathyam (kebenaran dan kesetiaan), Pasupati (ketajaman, intelektualitas), Kama (kesenangan), Eswarya (kepemimpinan), Krodha (kemarahan), Mrtyu (kedengkian, iri hati, dendam), Kala ( kekuatan). Itulah delapan karakteristik yang dimiliki oleh setiap umat manusia, sebagai pendorong melaksanakan aktivitas, dalam menjalani roda kehidupannya.

6.      Bunga

Bunga adalah sebagai lambang kedamaian dan ketulusan hati. Pada sebuah canang bunga akan ditaruh di atas sebuah sampian uras, sebagai lambang dalam kita menjalani roda kehidupan ini hendaknya selalu dilandasi dengan ketulusan hati dan selalu dapat mewujudkan kedamaian bagi setiap insan.  Bunga yang baik digunakan sebagai persembahan adalah bunga yang segar, wangi, utuh, tidak tumbuh dikuburan, belum jatuh dari tangkainya. Penataan bunga berdasarkan warnanya di atas Sampian Uras diatur dengan etika dan tattwa, harus sesuai dengan pengider-ideran (tempat) Panca Dewata.  Untuk urutannya berdasarkan warna bunga yang diawali dari arah timur ke selatan.

  1. Bunga berwarna putih (jika sulit dicari, dapat diganti dengan warna merah muda) disusun untuk menghadap arah timur, adalah sebagai lambang memohon diutusnya Widyadari (Bidadari) Gagar Mayang oleh Prabhawa-Nya dalam kekuatan  Sang Hyang Iswara agar memercikkan Tirtha Sanjiwani untuk menganugerahi kekuatan kesucian.
  2. Bunga berwarna  merah  disusun untuk menghadap arah selatan, adalah sebagai lambang memohon diutusnya Widyadari Saraswati oleh Prabhawa-Nya dalam kekuatan  Sang Hyang Brahma  agar memercikkan  Tirtha Kamandalu  untuk menganugerahi kekuatan Kepradnyanan dan Kewibawaan.
  3. Bunga berwarna kuning disusun untuk menghadap arah barat, adalah sebagai lambang memohon diutusnya Widyadari  Ken Sulasih  oleh Prabhawa-Nya dalam kekuatan  Sang Hyang Mahadewa  agar memercikkan Tirtha Kundalini  untuk menganugerahi kekuatan intuisi.
  4. Bunga berwarna hitam (jika sulit dicari, dapat diganti dengan warna biru, hijau atau ungu) disusun untuk menghadap arah utara, adalah sebagai lambang memohon diutusnya Widyadari Nilotama oleh Prabhawa-Nya dalam kekuatan  Sang Hyang Wisnu  agar memercikkan  Tirtha Pawitra  untuk menganugerahi kekuatan peleburan segala bentuk kekotoran jiwa dan raga.

7.      Kembang Rampai

Kembang rampai akan ditaruh di atas susunan/rangkaian bunga-bunga pada suatu canang, kembang rampai memiliki makna sebagai lambang kebijaksanaan. Dari kata kembang rampai memiliki dua arti, yaitu kembang berarti bunga dan rampai berarti macam-macam, sesuai dengan arah pengider-ideran kembang rampai di taruh di tengah sebagai simbol warna brumbun, karena terdiri dari bermacam-macam bunga. Dari sekian macam bunga, tidak semua memiliki bau yang harum, ada juga bunga yang tidak memiliki bau, begitu juga dalam kita menjalani kehidupan ini, tidak selamanya kita akan dapat menikmati kesenangan adakalanya juga kita akan tertimpa oleh kesusahan, kita tidak akan pernah dapat terhindar dari dua dimensi kehidupan ini. Oleh karena itulah dalam menata kehiupan ini hendaknya  kita  memiliki kebijaksanaan.

8.      Lepa

Lepa atau boreh miyik adalah sebagai lambang sikap dan perilaku yang baik. Boreh miyik yang harum dapat dipakai sebagai lulur dan pasti akan dioleskan pada kulit, jadi lulur merupakan sifat luar yang dapat dilihat oleh setiap orang. Yang dapat dilihat ataupun disaksikan oleh orang lain adalah perilaku kita, karena perilaku seseorang akan disebut baik ataupun buruk. Seseorang akan dikatakan baik apabila dia selalu berbuat baik, begitu juga sebaliknya seseorang akan dikatakan buruk kalau di selalu berbuat hal-hal yang tidak baik. Boreh miyik sebagai lambang perbuatan yang baik.


9.      Minyak Wangi

Minyak wangi atau miyik-miyikan sebagai lambang ketenangan jiwa atau pengendalian diri, minyak wangi biasanya diisi pada sebuah canang sebagai pelengkap persembahan. Sebagai lambang dalam menata hidup dan kehidupan ini, hendaknya dapat dijalankan dengan ketenangan jiwa dan pengendalian diri yang baik sehingga kedamaian dan ketenangan akan dengan mudah dicapai oleh seluruh umat manusia.

(Sudarma, 2009: 2-5)

D.    Makna Canang Sari dalam Beribadah

Canang Sari ini dalam sarana ibadah penganut Hindu Bali adalah kuantitas terkecil namun inti (kanista=inti). Disebut inti karena dalam setiap banten atau yadnya  apapun selalu berisi Canang Sari. Canang Sari sering digunakan untuk sembahyang atau ibadah umat Hindu sehari-hari di Bali. Canang Sari juga mengandung salah satu makna sebagai simbol bahasa Weda untuk memohon kehadapan Sang Hyang Widhi  yaitu memohon kekuatan Widya (Pengetahuan) untuk Bhuwana Alit maupun Bhuwana Agung. Canang berasal dari kata "Can" yang berarti indah, sedangkan "Nang" berarti tujuan atau maksud (bhs. Kawi/Jawa Kuno), sedangkan “Sari” berarti inti atau sumber. Canang Sari merupakan suatu upakara atau banten yang selalu menyertai atau melengkapi setiap sesajen atau persembahan, segala upacara yang dipersiapkan belum disebut lengkap kalau tidak di lengkapi dengan Canang Sari, begitu pentingnya sebuah Canang Sari dalam suatu upakāra /bebanten (Sudarsana, 2010:1). 
Pelaksanaan agama bagi umat Hindu Bali memang selalu melalui upacara, artinya pengembangan ajaran agama yang berlandaskan kepada karma marga, yaitu melalui jalan penyerahan hasil karya yang dilakukan secara tulus dan ikhlas (Arsana, 1994 : 31).
Canang Sari dalam kehidupan sehari-hari umat Hindu Bali dimaknai besar sebagai bentuk berdoa untuk meminta keberkahan atau apapun yang diinginkan. Ada pepatah mengatakan “kecil itu indah”. Begitu pula makna dari sebuah canang sari. Walaupun bentuknya kecil, tapi mempunyai makna yang besar.

E.     Manfaat Finansial Canang Sari      

Selain untuk keperluan bersembahyang, adanya Canang Sari juga dapat dijadikan peluang bisnis. Misalnya, setiap sore tepian jalan seputaran Denpasar kini tidak hanya padat oleh pedagang makanan kaki lima, namun para pedagang Canang Sari juga memadati tepi-tepi jalan. Canang-canang yang dijual, sudah dalam kemasan plastik berbagai ukuran. Jarak antarpedagang bahkan hanya hitungan beberapa meter saja. Warung-warung makan atau kelontong pun tidak mau kalah, menyediakan beberapa bungkus canang di depan warungnya setiap sore hari.
Target pembelinya jelas, para pegawai kantor yang baru pulang bekerja. Pola penjualan Canang  Sari itu beragam. Ada yang membuat sendiri dan kemudian menjualnya langsung kepada konsumen, ada juga yang hanya menjadi “broker” atau pedagang murni. Untuk metode yang kedua, biasanya para pedagang menerima canang sari yang sudah dalam kemasan plastik dari seseorang yang memproduksi.
Pembuat Canang Sari itu biasanya mengantarkan langsung canang-canang tersebut ke pedagang, dengan memberi keuntungan tertentu. Sistemnya konsinyasi atau titipan. Jadi, pedagang tidak perlu khawatir bila dagangannya tidak habis terjual, karena canang dapat sewaktu-waktu dikembalikan kepada  pembuatnya.
Menjamurnya pedagang Canang Sari, mengindikasikan bahwa bisnis ini benar-benar menjanjikan. Bisnis ini memang menawarkan keuntungan lumayan secara ekonomis. Besarnya keuntungan, sangat tergantung di posisi mana kita berada dalam rantai perdagangan produk ritual ini. 
Ada tiga posisi berbeda yang bisa dipilih, sesuai dengan pola penjualan yang umum saat ini. Kita bisa menjadi produsen murni, pedagang murni, atau mengambil posisi kedua-duanya.  Bila kita memilih jadi produsen, maka kita tinggal memproduksi Canang Sari tanpa memikirkan sewa tempat dan tenaga untuk menjual. Kita hanya perlu melobi warung-warung terdekat untuk mau menjualkan Canang Sari yang Anda buat. Lobi ini tentu saja dilakukan dengan menawarkan keuntungan lumayan kepada mereka, untuk setiap bungkus canang yang terjual.
Salah seorang produsen mengaku harus memberikan keuntungan Rp 2.000 untuk setiap bungkus Canang Sari seharga Rp 7.000 kepada pedagang warung yang menjualkan produksinya. Jadi, produsen tersebut hanya mendapat Rp 5.000 dari sebungkus canang sari seharga Rp 7.000 yang masing-masing berisi 25 buah (Kharismadani, 2012: 2).
Dari setiap bungkus canangsari dengan harga pokok Rp 5.000 per bungkus itu, produsen tersebut bisa mendapat keuntungan rata-rata Rp 1.000 per bungkus. Berarti modal yang dibutuhkan sebesar Rp 1.000.
Jika setiap harinya bisa membuat sekitar 100 bungkus Canang Sari, keuntungan yang didapat sekitar Rp 100.000 per hari. Bila tak ingin repot, menjadi pedagang saja tentu lebih mudah. Kita tinggal mencari produsen Canang Sari, dan menawarkan bantuan untuk penjualan dengan imbalan keuntungan. Biasanya, keuntungan yang diperoleh pedagang jauh lebih besar dibandingkan produsen. Pedagang umumnya mendapat keuntungan Rp 2.000 per bungkus, sedangkan produsen hanya mendapat Rp 1.000 per bungkus. Namun hal ini hanya bisa dilakukan oleh yang punya tempat untuk berjualan, atau ada biaya sewa tempat yang harus dikeluarkan.
Pedagang pun tidak perlu khawatir dengan risiko kerugian, karena sistem kerjasamanya konsinyasi atau titipan. Jadi, tidak ada uang yang harus dibayar dimuka oleh pedagang, dan setiap canang yang tidak laku bisa dikembalikan sewaktu-waktu.
Keuntungan terbesar bisa didapat oleh siapapun yang mau menjalani dua-duanya sekaligus, yakni memproduksi dan menjualnya langsung. Untuk ini, kita harus memiliki semuanya. Modal untuk membeli bahan baku, tempat berjualan atau biaya sewa tempat jualan, tenaga untuk membuat canang sari sekaligus tenaga untuk memasarkannya. Lebih repot, namun keuntungannya jelas lebih besar karena tidak harus dibagi. Hitungan kasarnya, untuk setiap bungkus Canang Sari seharga Rp 7.000, keuntungan yang diperoleh bisa mencapai Rp 3.000. Bila terjual sebanyak 100 bungkus Canang Sari sehari, artinya keuntungan yang diraih bisa mencapai Rp 300.000 sehari.
Hal istimewa dari bisnis Canang Sari, termasuk bisnis Banten lainnya, harga dapat disesuaikan mengikuti harga bahan baku tanpa ada protes. Atau setidaknya, walau dengan sedikit gerundelan, pembeli akan tetap membeli. Menjelang hari Raya Galungan tahun ini misalnya, harga Canang Sari tiba-tiba melonjak jadi Rp 15.000 per bungkus isi 25 buah. Atau jelang Purnama harganya bisa Rp 12.000. Ini karena harga janur, bunga, dan berbagai  bahan bakunya yang tiba-tiba melonjak. Walaupun begitu, Canang Sari tetap saja laku.
Selain karena kebutuhan, Canang Sari juga merupakan produk ritual yang bagi sebagian besar harus didasarkan keikhlasan. Sebuah konsep pemikiran yang berasal dari kearifan lokal Bali, yang memberi keuntungan secara ekonomis kepada pelaku bisnis ini. Layaknya dalam proses jual-beli, terkadang ada pembeli yang menawar, ada juga yang langsung membeli tanpa menawar. Tentu saja, bisnis ini juga harus dijalankan dengan kejujuran. Ketika semua bahan baku mulai turun ke harga normal, harga Canang Sari biasanya menyesuaikan.  Bila pedagang tidak mengembalikan ke harga normal, maka dijamin akan ditinggal pelanggannya. Karena ada banyak pedagang, ada banyak pilihan bagi konsumen.
Satu hal lagi, bisnis ini harus dijalankan dengan pengetahuan yang benar tentang konsep Canang Sari, tidak asal-asalan. Pastikan semua detil yang harus ada dalam Canang Sari, terpenuhi. Misalnya, ada porosan yang merupakan simbol Tri Murthi, yakni Brahma, Wisnu dan Siwa. Kalau tidak, maka yang kita jual adalah rangkaian bunga dan janur, bukan Canang Sari. 
Peluang usaha Canang Sari menjadi semakin besar, karena tidak sedikit umat Budha atau warga Tionghoa yang juga menggunakan tradisi Canang Sari dalam pemujaan di Konco atau Klenteng.

 

BAB III

PENUTUP

 

A.    Kesimpulan

Canang Sari merupakan bentuk sesajen yang paling sederhana dan dimaknai sebagai bentuk berdoa atau beribadah bagi umat Hindu Bali. Walaupun isi atau komponen Canang Sari sederhana, tapi peranannya sangat penting bagi kegiatan beribadah sehari-hari dan upacara-upacara keagamaan. Inti dari makna Canang Sari bukanlah dari mewah atau sederhananya tampilan Canang Sari tersebut dan bukanlah dari seringnya melakukan sebuah persembahan Canang Sari. Namun, hal yang terpenting adalah bagaimana persembahan itu dilakukan sebagai bentuk ibadah yang dilakukan dengan ikhlas dan dapat terealisasi dengan nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Tak lepas dari makna Canang Sari itu sendiri, peluang bisnis juga dapat dilakukan untuk mempermudah seseorang dalam melakukan ibadah. Keuntungannya pun cukup besar jika dilakukan dengan serius. Hal ini karena Canang Sari merupakan kebutuhan sehari-hari dalam beribadah bagi umat Hindu. Kuncinya adalah kejujuran dalam berdagang. Karena apabila dalam melakukan bisnis ini tidak jujur, pelanggan pasti akan meninggalkan kita sebagai pelaku bisnis.



B.     Saran
Sesajen yang merupakan simbol keunikan Pulau Bali sudah sangat tertata dengan baik dan menjadi simbol kesucian bagi umat Hindu di Bali. Canang Sari yang merupakan bentuk sesajen paling sederhana dimaknai masyarakat Bali sebagai sarana beribadah. Oleh karena itu, dengan adanya makalah ini mudah-mudahan masyarakat Bali pada khususnya dan masyarakat Indonesia serta mancanegara pada umumnya dapat memelihara dan memaknai dengan baik keberadaan Canang Sari khususnya sebagai sarana beribadah dan keunikan budaya Bali.

 
DAFTAR PUSTAKA

Echa. 2008. Canang Sari. Tersedia di http://seikatpadi.blogspot.com/ [Diakses 20 Mei 2012]

Edisusanta. 2012. Mengenal Kembali Subak. Tersedia di http://talov.org// [Diakses 28 Mei 2012]

Koentjaraningrat. 1990. Manusia dan Kebudayaan Indonesia. Jakarta : Djambatan.

Oka, A. 1985. Melestarikan Seni Budaya Tradisional yang Nyaris Punah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Picard, Michel. 2006. Bali: Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)

Sigar, Edi dan Ernawati. 2003. Buku Pintar Pariwisata Nusantara. Jakarta: Delaptrosa Publishing.

Sudarma, I Wayan. 2009. Sarana Persembahyangan. Tersedia di http://dharmavada.wordpress.com/ [Diakses 20 Mei 2012]

______________ . 2009. Canang Sari (Cara Membuat dan Kajian Filosofis). http://sanggrahanusantara.blogspot.com/ [Diakses 20 Mei 2012]

______________ . 2012. Manisnya Sesari Canang Sari. Tersedia di http://www.tabloidgalangkangin.com/ [Diakses 20 Mei 2012]
LAMPIRAN

 

Gambar 1. Canang Sari
Gambar 2. Canang Sari diletakkan di tepi jalan


Gambar 3. Canang Sari diletakkan pada kendaraan

Gambar 4. Canang Sari diletakkan di depan toko
Gambar 5. Canang Sari diletakkan di depan pura

 HAND OUT

 

PERANAN CANANG SARI

DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT HINDU DI BALI


Regu 2
Kelompok 1

Zamzam Ganjar Hidayat      2009.114.037
Idham  Septiansyah               2009.111.047
Hengky Purbaya                    2009.111.046
Husnul Khatimah                            2009.114.051


Sesajen merupakan sarana ibadah atau berdoa bagi umat Hindu, khususnya di Bali. Canang Sari adalah salah  satu bentuk sesajen yang  paling sederhana. Canang Sari dalam sarana ibadah penganut Hindu Bali adalah kuantitas terkecil namun inti (kanista=inti). Disebut inti karena dalam setiap banten atau yadnya  apapun selalu berisi Canang Sari. Canang Sari sering digunakan untuk sembahyang  atau  ibadah  umat Hindu  sehari-hari di Bali.
Canang berasal dari kata "Can" yang berarti indah, sedangkan "Nang" berarti tujuan atau maksud (bhs. Kawi/Jawa Kuno), sedangkan “Sari” berarti inti atau sumber. Canang Sari merupakan suatu upakara atau banten yang selalu menyertai atau melengkapi setiap sesajen atau persembahan, segala upacara yang dipersiapkan belum disebut lengkap apabila tidak di lengkapi dengan Canang Sari, begitu pentingnya sebuah Canang Sari dalam suatu upakāra/bebanten (Sudarsana, 2010:1). 


 




Oval: Kembang Rampai                                      


 




Canang Sari dalam kehidupan sehari-hari umat Hindu Bali dimaknai sebagai bentuk doa untuk meminta keberkahan atau apapun yang diinginkan. Ada pepatah mengatakan “kecil itu indah”. Begitu pula makna dari sebuah Canang Sari. Walaupun bentuknya kecil, tapi mempunyai makna yang besar.
Selain untuk keperluan bersembahyang, Canang Sari juga dapat dijadikan peluang bisnis. Canang Sari juga merupakan produk ritual yang bagi sebagian besar harus didasarkan keikhlasan. Sebuah konsep pemikiran yang berasal dari kearifan lokal Bali, yang memberi keuntungan secara ekonomis kepada pelaku bisnis ini. Layaknya dalam proses jual-beli, terkadang ada pembeli yang menawar, ada juga yang langsung membeli tanpa menawar. Tentu saja, bisnis ini juga harus dijalankan dengan kejujuran. Ketika semua bahan baku mulai turun ke harga normal, harga Canang Sari biasanya menyesuaikan.  Bila pedagang tidak mengembalikan ke harga normal, maka dijamin akan ditinggal pelanggannya. Karena ada banyak pedagang, ada banyak  pilihan bagi konsumen.
Satu hal lagi, bisnis ini harus dijalankan berdasarkan konsep Canang Sari yang murni, tidak asal-asalan. Pastikan semua komponen harus ada dalam Canang Sari, terpenuhi. Misalnya, ada porosan yang merupakan simbol Tri Murthi, yakni Brahma, Wisnu dan Siwa. Kalau tidak, maka yang kita jual adalah rangkaian bunga dan janur, bukan Canang Sari.  Peluang usaha Canang Sari menjadi semakin besar, karena tidak sedikit umat Budha atau warga Tionghoa yang juga menggunakan tradisi Canang Sari dalam pemujaan di Konco atau Klenteng.

Gambar 1. Canang Sari
Gambar 2. Canang Sari diletakkan di tepi jalan

Gambar 3. Canang Sari diletakkan pada kendaraan

Gambar 4. Canang Sari diletakkan di depan toko
Gambar 5. Canang Sari diletakkan di depan pura



Tidak ada komentar:

Posting Komentar